Lalu di mana peran etnis Tionghoa? Itu antara lain terbukti dengan dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong. Selain itu, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk dalam kepanitiaan. Di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda Tionghoa yang lain. Peran yang cukup signifikan boleh jadi terletak pada peran etnis ini untuk ikut berkomitmen mendukung isi Sumpah Pemuda butir ketiga "kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia", etnis Tionghoa juga punya sumbangan cukup lumayan.
***
Menurut bukti sejarah, dalam hal bahasa, kontribusi etnis ini memang tidak kecil. Sekadar diketahui, semula etnis Tionghoa, di Jawa khususnya, lebih suka berbahasa Jawa. Namun, sebuah keputusan yang diambil pemerintah Belanda dengan sistem tanam paksa (1830-1870) akhirnya memutuskan sistem pas (passenstelsel) yang praktis memisahkan orang Tionghoa dengan orang Jawa. Nah, praktis, sejak saat itu, etnis ini mulai berbahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.
Lalu, dengan terdongkraknya status sosial orang-orang peranakan golongan atas, mereka pun mulai mengembangkan sifat dan minat golongan atas, termasuk sastra dan tata pergaulan sosial. Kekayaan juga mendorong mereka menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Belanda berbahasa Melayu yang didirikan pemerintah kolonial sejak 1854.
Anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah itu, tentu saja, mulai menulis dalam bahasa Melayu, baik wartawan maupun sastrawan. Apalagi, surat kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak di percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, seperti Soerat Kabar Bahasa Melayoe (1856) dan Bintang Soerabaja (1860). Di awal abad ke-20, terbit koran besar Pewarta Soerabaia, Sin Tit Po, dan Sin Po. Harian Sin Po adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor penggunaan kata Indonesia menggantikan Nederlandsch-Indie, Hindia Nederlandsch atau Hindia Olanda dan menghapuskan penggunaan kata "inlander" yang dirasakan sebagai penghinaan bagi rakyat Indonesia. Langkah ini kemudian diikuti harian lain. Kemudian untuk membalas "budi" sebagian besar penerbitan pers Indonesia mengganti kata "China" dengan kata "Tionghoa".
Tanpa disadari, pers yang dikelola komunitas Tionghoa tersebut kemudian berkembang menjadi sarana efektif dalam penyebarluasan berbagai berita perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan serta menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat.
***
Nah, yang perlu digarisbawahi, jika peran etnis Tionghoa ditampilkan dalam tulisan ini, sebenarnya bukan bermaksud menonjolkan peran etnis ini sendiri dalam mendukung Sumpah Pemuda. Peran etnis Tionghoa mungkin sama saja atau bahkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan para pemuda dari Jawa, Batak, atau Betawi, dan sebagainya. Peran etnis Tionghoa "terpaksa" disinggung di sini sekadar untuk menyegarkan ingatan, karena kadang masih terdengar penilaian etnis Tionghoa sama sekali tidak peduli dengan masalah-masalah kebangsaan atau etnis Tionghoa malah merusak bahasa Indonesia.
Kalau kita kembali ke semangat Sumpah Pemuda, penilaian minor yang mengecilkan peran etnis tertentu seperti disebutkan di atas hanya kontraproduktif bagi bangsa ini. Karena itu, semangat 1928 rasanya masih sangat relevan gaungnya untuk kita. Pasalnya, pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku dan agama sudah berani membangun tekad kebersamaan. Yang penting bagi mereka adalah semangat bersama untuk mewujudkan impian akan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat bernama Indonesia.
Dan sebuah Indonesia yang berdaulat hanya bisa berdiri tegak jika setiap komponennya memiliki semangat dan visi multikultural yang menghargai keragaman, pluralisme, atau perbedaan. Entah seberapa besar atau kecil sumbangannya bagi Indonesia, tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Yang jauh lebih penting adalah solidaritas dan menjauhi semangat kesukuan atau semangat menonjolkan suku, etnis atau kelompok sendiri. Untuk itu, jangan gara-gara soal menteri saja, sampai mau bercerai dari NKRI.
Kini sudah 64 tahun lebih Indonesia merdeka. Semangat Sumpah Pemuda masih belum basi, terlebih untuk menjaga dan merawat Indonesia yang kini menghadapi 1001 persoalan, terlebih tantangan globalisasi, terorisme, dan korupsi. Kita yakin bila semua suku atau etnis atau elemen apa pun dari bangsa ini mau memberikan sumbangan positifnya, mungkin kita akan bisa meraih mimpi yang lebih besar, yakni Indonesia yang berkesetaraan dan berkeadilan, bukan almarhum Indonesia yang rusak karena tercerai berai berbagai ambisi primordialisme.
*) Mustofa Liem, PhD , Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan